KUPU KUPU JANTAN (PART 6)

KUPU-KUPU JANTAN
Part: 6
By: Az Marko


Ini adalah hari keenam setelah kepergian bapak. Waktu sudah menunjukan pukul 14:11, Langit masih menumpahkan air matanya dengan sangat deras. Aku baru saja mengantarkan bag safir ke stasiun telagasari. Ya.. bang safir harus pulang lebih dulu kebogor karena besok ia harus menyelesaikan kerjaanya yang sudah beberapa hari ia tinggal. Sedangkan mbak sofi masih menetap dirumah ibu sampai tujuh harinya kepergian bapak.

Ditengah derasnya hujan sekumpulan orang malah berkerimun dipinggiran jalan, sebagian ada yang menghalangi jalanan. Aku langsung menghentikan mobilku. Tak mau dirasuki penasaran lebih dalam aku langsung keluar dari mobil walau hujan masih turun dengan sangat deras. Ya aku ingin tahu sedang apa orang-orang itu, melihat mimik wajah mereka sepertinya mereka semua sedang marah besar pada seseorang. Aku langsung menyelinap diantara kerimunan puluhan orang itu. Dan betapa terkejutnya aku ketika tau mereka sedang memukuli anak kecil. Dan aku lebih terkejut lagi ternyata anak itu fajar.


“Berhenti.. apa yang kalian lakukan?” Kataku yang langsung melindungi anak kecil itu. Sangat miris sekali tubuh kecilnya harus merasakan pukulan dari mereka yang sudah dewasa dan bertubuh besar. Tapi sayang fikiranya tak sesuai dengan usia atau postur tubuhnya.

“Anak ini pencuri mas? Dia maling apel dagangan saya?” Pria brewok berbadan besar langsung mengambil alih untuk menyahutiku. Disusul dengan ocehan lainya yang membenarkan ucapan pria brewok itu.

“Astagfirullah.. berapa apel yang dia curi?”

“Satu..” pria brewok itu kembali menjawab

“Hanya satu? Hanya karena satu buah apel kalian tega memukuli anak kecil ini?”

“Bukan Cuma satu masalahnya? Dia sudah sering mencuri buah buahan ditoko saya”

“Berapa yang harus saya ganti rugi?”

“Kamu bapaknya?”

“Saya saudaranya..”

“dua ratus ribu...”

“Baik ini ambil jam tangan saya.. anda bisa jual. Harga jualnya masih diatas satu juta. Sisanya bisa anda jadikan untuk modal usaha anda?” kataku kemudian menyerahkan arloji yang baru saja aku lepas dari pergelangan tanganku.

“Bagaimana saya percaya jika jam seperti ini bisa dijual diatas satu juta?”

“Ini kartu nama saya. Jika saya bohong. Silahkan anda datang kealamat itu”

Mendengar kata-kataku pria brewok itu sepertinya mulai percaya. Aku langsung membawa fajar yang mengigil kedinginan dan tengah merasakan nyeri kedalam mobilku. Dia duduk kursi kedua. Wajahnya memar mungkin karena pukulan orang-orang tadi. Sungguh tega mereka menyiksa anak dibawah umur seperti fajar.

“Kita kerumah sakit yah?” kataku berusaha mengajaknya bicara yang dari tadi hanya diam saja.

“Jangan...” fajar berteriak. Baru kali ini aku mendengar suaranya. Aku langsung menghentikan mobilku dan berbalik badan kearahnya.

“Kenapa? Kamu harus segera diobati?”

“Jangan... Jangan....” Hanya satu kata yang dia ucap dan terus ia ulang beberapa kali.

“Yasudah kalau begitu saya antarkan pulang ya?”

Fajar menggeleng...

“Kenapa? Fajar kamu ini sudah menjadi anak didik saya. Kamu tanggung jawab saya. Mulai sekarang kalau perlu apa apa kamu bilang sama saya? Insya Allah jika saya bisa melakukanya, saya akan lakukan. Lihat itu depan ada penjual apel? Kamu mau? Saya belikan yang banyak buat kamu..”

Fajar hanya menunduk, aku kembali melajukan mobilku dan berhenti tepat didepan penjual buah-buahan segar. Hujan sudah berhenti turun, aku langsung keluar dari dalam mobil sementara fajar hanya duduk menunduk didalam mobil. Beberapa waktu kemudin aku sudah membawa dua kilo apel didalam pelastik berwarna putih untuk aku serahkan pada fajar. Hatiku kelu melihat anak seusia fajar dipukuli hanya karena ia menginginkan buah apel.

Aku langsung masuk kedalam mobil, tapi aku tersentak saat mendapati fajar sudah lenyap ditempat duduknya. Segera aku keluar kembali mempastikan fajar mungkin saja masih disekitar sini, namun hasilnya nihil. Fajar sudah pergi meninggalkanku. Aku heran kenapa dia malah lari, dia anggap aku ini apa? Padahal aku berniat baik untuknya. Aku paling tak suka melihat orang-orang disekitarku mengalami kesusahan, dan jika aku mampu apakah aku salah menolongnya. Ya. Aku hanya ingin menolong anak itu, tidak lebih.


**

“Gimana yan menurutmu sop buah-nya?” Nampaknya Pak Imran sudah tak sabar dengan jawabanku terhadap sop buah buatnya ini. Sementara elma yang baru saja duduk disebelahku setelah tadi melayani pembeli di kios buah milik bapaknya,  ia hanya senyum-senyum saja melihat sikap bapaknya itu.

“Enak pak... enak banget. Seger. Cuma saya sedikit mual nih pak”

“Loh kenapa yan? Gak enak?” Tanya Pak Imran penasaran dan mulai khawatir akan rasa sop buahnya. Padahal jelas-jelas walaupun kiosnya baru buka tiga hari tapi sudah ramai pembeli. Jadi menurutku kalau masalah rasa, sop buah buatan Pak Imran ini tak bisa diragukan.

“Enak kok pak? Yang buat saya mual itu bukan karena sop buahnya. Tapi karena tadi bapak malah tambahkan susu? Bapak kan tahu saya tidak suka susu?”

“Astaga... haha maaf yan bapak lupa kalau kamu tak suka susu. Mau bapak buatkan lagi ya?”

“Tidak usah pak.. Ini saja sudah cukup. Oh ya pak ini saya tadi beli apel dijalan. Lumayan bisa dijadikan bahan sop buah” aku menyerahkan kantung pelastik yang berisi dua kilo apel yang tadinya akan kuberikan pada fajar. Pak Imran nampak senang menerima pemberianku itu.

“Wahh terima kasih yan. Kamu sudah banyak bantu keluarga saya. Kamu sudah sudi menyekolahkan elma. Kamu sudah baik hati melunasi hutang-hutang saya dan memberi modal untuk usaha ini. Saya tidak tahu cara apa yang harus saya lakukan untuk membalas kebaikan nak fiyan”

“Jangan berlebihan pak. Itu bukan dari saya, itu rezeki bapak dari Allah yang dititipkan melalui saya. Cukup bapak doakan agar saya selamat dunia akhirat”

“Amin... Pasti bapak doakan yan. Maaf juga atas perilaku saya yang kasar terhadapmu dulu. Jujur waktu itu fikiran saya penat karena memikirkan hutang yan”

“Sudahlah pak. Saya sudah tak mengingatnya. Yang penting sekarang saya senang melihat perubahan pak imran”

“Ini berkat kamu yan...”

“Bukan berkat saya. Berkat Allah yang maha pemurah pak”

Pak imran kembali melayani beberapa anak sekolah yang memesan sop buahnya. Elma masih duduk disampingku sedang memotong buah melon.

“Elma... saya mau bicara mengenai fajar?”

Seketika elma menghentikan gerakan tanganya dan menaruh pisau serta wadah yang berisi melon yang sedang ia potong kecil-kecil.

“Fajar? Kenapa mas dengan dia?”

“Apa kamu sudah berkunjung kerumahnya dan bicara dengan fajar?”

“Bagaimana saya mau berkunjung kerumahnya mas. Gerbang rumahnya saja selalu terkunci. Dan jika saya mau mengajak fajar bicara pasti dia selalu menghindar”

“Kita harus cari tahu apa sebenarnya yang tengah fajar alami. Saya melihat anak itu seperti sangat tertekan dan mempunyai trauma. Kamu tahu? Saya baru saja tadi bertemu anak itu, tadi dia sedang dipukuli banyak orang karena katanya kedapatan mencuri buah apel. Saya tidak tahu bagaimana seandainya saya terlambat datang. Mungkin si penjual buah yang merasa daganganya dicuri sudah habis habisan memukulnya”

“Lalu kemana dia sekarang?”

“Itu dia.. tadi begitu saya menyelesaikan masalahnya dengan si penjual buah. Saya ajak dia kedalam mobil untuk saya antarakan pulang. Dan begitu dijalan ketika saya sedang membeli apel untuknya, begitu saya kembali kemobil tahu tahu dia sudah tak ada”

“Elma masih tak percaya fajar mencuri, ditambah lagi yang dia curi sebuah apel?”

“Ya.. saya juga tak percaya. Karena itu tadi dijalan saya berniat membelikan buah apel untuknya. Tapi dia malah lari”


“Anak itu dan keluarganya memang aneh yan..” Pak imran langsung nimbrung dalam percakapan aku dan anaknya. Begitu dia sudah selesai melayani pembeli tadi. “Bukan Cuma itu, si Mey liem, ibunya. Dia pernah ditegur oleh salah satu warga karena dikomplek kami hanya dia yang memelihara anjing dirumahnya. Tapi wanita china itu malah keras kepala ia tetap memelihara anjing itu” Sambung pak imran.

“Bapak pernah bicara dengan ibu anak itu.. mey liem?” lidahku terasa kelu menyebutkan nama itu.

“Pernah.. tapi wanita itu angkuh. Suatu hari ketika dia turun dari mobil membawa belanjaan yang jumlahnya sangat banyak. Bapak tanya sama dia dengan nada becanda kata bapak ‘baru pulang belanja cik?” tapi dia malah jawab ketus, katanya jangan sok akrab lah. Bukan urusanmu lah. Wajar saja wanita itu dan anaknya dijauhi dikomplek rumah”

“Kalau suaminya, bapak tau dimana?”

“Kalau masalah suaminya bapak kurang tahu yan. Tapi sepertinya dia punya dua anak selain si fajar itu. Anak itu yang selalu mengantarkan mey liem belanja. Tapi anehnya mobil anak itu tidak pernah lama ada didepan rumahnya. Paling hanya hitungan jam”

“Bapak yakin itu anaknya?”

“Kurang yakin sih yan, Tapi usianya semuran denganmu yan. Bisa jadi mungkin selingkuhanya..”

“Bapak gak boleh seudzon..??” Kata elma mengingatkan ayahnya yang menurutnya bicarnya keterlaluan. Pak Imran hanya tertawa melihat sorot mata elma yang tajam memandanganya.


**

Pagi ini angin kembali bertasbih dengan semilirnya yang membawa kesejukan. Matahari seperti tak mau kalah untuk bertasbih. Keduanya saling berlomba lomba memberikan sebuah dimensi kenikmatan yang Allah anugerahkan kepada keduanya. Tak terasa sudah satu minggu berlalu itu berarti sudah hampir dua pekan bapak pergi dari dunia ini. Walapun begitu, kehadiranya dirumah ini masih benar-benar terasa. Toko matrial bapak diambil alih oleh Paman Faiz, adik bungsu bapak. Aku percaya, ditangan Pamain Faiz keharmonisan dan kelancaran toko matrial bapak akan tetap berlangsung seperti ketika bapak memegengnya. Dipagi ini dua pasang suami istri itu bahagia karena tadi malam anak pertama mereka telah lahir kedunia ini sebagai pelengkap kebahagiaan mereka. Ya buah cinta dari pernikahan Sofiah Astuti mbaku dan suaminya Safirullah Maulana, tadi malam sekitar jam sembilan malam anak laki laki itu lahir kedunia ini. Semenjak tujuh  hari kepergian bapak mbak sofi memang sengaja tinggal dirumah ibu untuk menemani ibu dan karena ia juga sadar bulan ini sudah memasuki bulan kelahiran anaknya.

Mbak sofi dan Bang Safir masih duduk didepan tv. Sedang sikecil yang belum juga diberikan nama, sedang tertidur pulas diranjang kecil yang sangat cantik yang sengaja aku belikan tiga hari lalu. Tak kusangka secepat itu ranjang mini yang aku beli digunakan.

“Kamu ada ide yan?” kata bang safir padaku yang sedang bersiap untuk pulang kerumah mertuaku.

“Ide nama?” kataku datar tanpa memandang bang safir dan sibuk membereskan makanan yang tadi subuh ibu sengaja buatkan untuk istriku yang sedang tak enak badan itu.

“Ia yan.. habisnya mbakmu ini dari tadi gak setuju terus sama nama yang abang usulkan” Mbak sofi yang mendengar ucapan suaminya dengan cepat menyahuti. “Bukan gak setuju.. tapi nama yang abang berikan itu semuanya terlalu kebarat baratan. Marko Jackson lah. Luis apalah.. linu aku bang nyebutnya”

Aku tertawa mendengar percakapan suami istri itu. Dari tadi malam mereka memang masih belum menemukan nama yang pas untuk buah hatinya itu.

“Ini yakin mau minta saran nama sama fiyan?” Mbak sofi dan bang safir langsung mengangguk.

“Sebenarnya nama ini tadinya untuk nama anak fiyan nanti. Tapi berhubung anak mbak sofi laki laki dan lahir duluan, yasudah fiyan berikan nama ini untuk keponakan fiyan tercinta”

“Apa yan namannya?” mbak sofi terlihat sudah tak sabar

“Namanya.... Alfattah Zacky Farzhamy. Bagaimana?”

“Wah bagus tuh yan?” bang safir selaku bapaknya langsung memberikan respons positif. Hanya mbak sofi yang terlihat nampak masih ragu.

“Artinya apa yan?” kata mbak sofi semakin penasaran.

“Alfattah itu diambil dari surah Alfatehah yang artinya Pembuka atau pertama. Sedangkan zacky itu artinya cerdas. Dan Farzhamy itu gabungan dari dua kata. Fardhu Dan Zham zham. Yang artinya keharusan dan jernih. Jadi anak mbak sofi dan bang safir ini kan anak pertama. Nah Insya Allah dia ini adalah pembuka cerdas yang akan menegakan keharusan yang jernih. Keharusan yang jernih disini diartikan sebagai penegak sholat. Gimana?”

“wahh.. luar biasa. Bukan Cuma namanya yang bagus. Artinya juga bagus yan” mbak sofi baru terlihat rona bahagia tanda setujunya.

“Panggilanya apa yan?” tanya bang safir yang belum puas

“Itu terserah abang dan mbak sofi. Bisa saja zacky, zhamy atau al”

“Kita panggil Al saja ya bund? Biar gantengnya sama kayak ayahnya syukur syukur kayak anaknya musisi ahmad dhani itu” kata bang safir pada mbak sofi. Kakaku itu hanya tersenyum yang menandakan setuju. Aku menggelengkan kepala, kenapa malah bang safir kefikiran sama anak artis. Ada ada saja bang safir..


**

Sekitar jam sembilan pagi aku sudah tiba dirumah mertuaku. Jarak dari rumah ibu kerumah kyai fatwana kurang lebih memakan waktu 40 menit. Sebenarnya masih satu kecamatan hanya saja beda desa. Aku langaung masuk kedalam kamar, dan fatma tengah terbaring diranjang. Wajahnya pagi ini terlihat pucat, dari subuh tadi dia memang mengeluh perutnya kesakitan. Sudah aku coba ajak periksa kedokter tapi dia tak mau, katanya nanti juga sembuh sendiri.

“Hei.. kamu kenapa sayang?” aku duduk ditepi ranjang sambil meletakan telapak tanganku dikeningnya. Fatma berusaha untuk bangun, namun aku melarangnya dan menyuruhnya untuk tetap tertidur.

“Gak papa kok mas? Mas sejak kapan pulang?” suara istriku terdengar sangat serak.

“Baru saja tadi, kamu jangan bilang gak kenapa kenapa. Badan kamua anget”

“Cuma perlu di istirahatkan saja mungkin mas. Nanti juga sembuh”

“Nanti dan nanti. Kamu memang keras kepala sayang”

“Maaf yah mas aku gak bisa kerumah ibu, pasti anak mbak sofi lucu banget yah. Padahal aku pengen banget kesana, bisa gendong anak mbak sofi”

“Sayang.. kamu kan lagi gak enak badan.. nanti kalau sudah sehat kita kesana yah”

“Itu apa mas?” fatma menunjuk rantang yang sudah tersusun yang aku letakan dimeja samping ranjang.

“Oh ini, tadi ibu sengaja buatkan untuk kamu. Katanya nasi kunyit.  Ibu bilang ini bisa mengobati sakit perutmu itu. Kamu mau makan sekarang?” Istriku mengangguk, aku langsung kedapur mengambilkan piring serta keperluan makan fatma. Aku senang fatma sangat lahap menyantap nasi kunyit buatan ibu. Setelah itu kubiarkan dia istirahat sampai beberapa waktu sebelum dzuhur dia terbangun. Aku sedang membereskan beberapa pakaianku yang masih kusut dan sama sekali belum distrika.

“Kamu lagi apa mas? Maaf aku ketiduran”

“Kamu istirahat saja sayang. Dzuhur juga masih sepuluh menit lagi”

“Itu pekerjaanku sebagai istri mas”

“Kamu sedang sakit sayang. Gak papa biar mas yang kerjakan. Nanti sore mas gak ke pondok. Biar elma yang sementara mengajar anak-anak. Hari ini aku ingin menjaga istriku tercinta”

“Mas.. aku gak papa. Kamu tetap pergi kepondok. Kasian elma kalau sendirian. Lagipula perutku sudah gak sakit setelah makan nasi kunyit buatan ibu”

“Kamu yakin sudah gak papa?”

“Ia mas jangan khawatir..”

“Tapi entah kenapa hari ini aku tetap ingin berada disampingmu. Berdua denganmu. Menjaga dirimu...”

“Mas kenapa bilang seperti itu? Tidak biasanya. Sudahlah. Mas tetap ngajar kepondok. Aku gak papa kok”


Siang itu aku sempatkan untuk dzuhur berjamaah bersama istriku, setelah itu kami makan siang bersama. Tak biasanya kali ini fatma makanya banyak. Aku senang melihat istriku sangat lahap menyantap menu makan siang siang ini.

**
Aku baru saja sampai dipondok menulisku. Disana sudah ada elma dan beberapa anak didiku yang sudah lebih dulu datang. Dipojokan teras aziz sedang duduk dengan seorang pria tua. Entahlah siapa pria itu tapi sepertinya aku pernah melihatnya. Aziz langsung datang menghampiri dan menyalamiku, disusul dengan pria tua itu yang berjalan dibelakang aziz. Nampak aziz seperti memberikan isyarat pada pria brewok yang dibelakangnya lalu aziz meninggalkan kami berdua, dia langsung berbaur dengan anak didiku yang lainya. Aku masih mencoba mengingat siapa pria yang ada dihadapanku saat ini.

“Maaf anda siapa?” kataku berusaha bersikap ramah padanya. Lalu aku mengajaknya duduk dikursi panjang yang ada diteras. Dengan ragu dia akhirnya mau duduk denganku.

“Sa... saya. Ayahnya Abdul Aziz”

“Oh.. anda ayahnya? Saya sofiyan pak. Pengajar dipondok ini”

“Ia saya sudah tau. Aziz sudah sering menceritakanmu. Sebenarnya saya bukan hanya ayahnya aziz. Tapi.... saya adalah penjual buah yang waktu itu memukuli anak kecil yang mencuri buah apel ditoko saya”

Aku diam.. sekilas kupandangi wajahnya. Pantas saja aku seperti mengenalnya. Tapi brewoknya kali ini tak selebat saat aku melihatnya dulu. Dan waktu itu aku tak jelas mengenali wajahnya karena terpaan hujan yang sangat deras.

“Ia pak saya ingat ada apa...??”

“Saya mau mengembalikan ini..” dia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Ya.. arloji yang waktu itu aku berikan padanya untuk mengganti rugi atas buah apelnya yang dicuri.

“Saya merasa bersalah. Sebenarnya waktu itu saya hanya asal nyebut. Sebenarnya apel apel yang diambil anak itu jika dihargai jumlahnya tak sampai ratusan ribu. Waktu itu saya emosi. Dan begitu anda menyerahkan jam itu, saya mencoba menjualnya. Dan benar kata anda. Harga jam tangan itu sangat tinggi. Akhirnya saya fikir fikir lagi untuk menjualnya dan hanya saya simpan. Lalu jam tangan itu diketahui oleh aziz dan dia mengatakan jika jam tanganya sangat mirip dengan jam tangan milik guru yang mengajarinya menulis. Dan saya tak menyangka jika anda adalah gurunya aziz. Saya sungguh minta maaf. Dan sebagai permintaan maaf saya sekaligus rasa terimakasih saya kepada anda. Terimalah ini..” Lelaki itu menyerahkan sebuah pelastik besar yang isinya buah buahan.

“Pak.. sudahlah. Mengenai jam tangan ini. Saya sudah ikhlas. Pantang bagi saya untuk menjilat ludah sendiri. Ketika saya menyerahkan jam tangan ini pada bapak. Jam tangan ini sudah sah jadi milik anda. Jadi tak perlu anda kembalikan. Anda tidak usah merasa tak enak hati pada saya. Saya sudah tak mengingat kejadian itu. Hanya saja saya minta lain kali jika peristiwa itu terjadi, tolong jangan main hakim sendiri. Apalagi jika pelakunya adalah anak kecil. Dan bapak tidak perlu repot repot membawakan buah-buahan sebanyak ini”

“Terimalah.. saya akan merasa bersalah jika anda menolaknya”

“Baiklah.. saya akan terima buah-buahan ini. Tapi anda juga mau menerima jam tangan ini kembali”

“Tapi jam itu terlalu mahal....”

“Jangan bicara mengenai harga pak. Itu benda mati, saya makan juga tidak bisa. Sedangkan buah-buahan ini bisa saya makan. Bisa jadi buah buahan ini sangat berharga dibandingkan benda mati itu”

“Subhanaullah.. benar kata aziz anda seorang yang dermawan dan santun”

“Amin...”

Pria yang aku ketahui namanya Pak Lukman akhirnya dia mau menerima kembali jam tangan yang tadi ia akan kembalikan padaku. Akupun dengan senang hati menerima buah-buahan pemberianya. Biarlah nanti aku bagikan pada anak-anak didiku. Selang beberapa waktu, fajar baru saja turun dari sebuah mobil berwarna silver. Mobil itu kemudian berlalu begitu saja dan fajar mulai melangkah menuju pondok. Pak Lukman memperhatikan dengan jeli anak itu, mungkin dia heran kenapa anak yang dulu dipukulinya saat ini bisa ada dihadapanya.

“Itu namanya fajar. Dia masih anak didik saya disini. Temanya aziz pula” kataku tanpa memandang kearah pak lukman dan terus memperhatikan langkah kaki fajar. Langkah kaki anak itu seolah mengandung banyak arti dan cerita dalam setiap langkahnya. Kepala anak itu hanya menduduk kebawah tanah, memperhatikan langkah kakinya sendiri. Sama sekali tak menghiraukan teman teman yang ada disekelilinya yang tengah asyik bertukar cerita.

Langkah kaki fajar terhenti dihadapan aku dan pak lukman. Perlahan anak itu mulai mengangkat kepalanya, matanya menyoroti aku dan pak lukman. Nampaknya dia kaget ketika melihat sosok pak lukman.

“Fajar.. sini duduk?” aku berusaha menyapanya, tapi raut wajahnya tetap datar. Tak ada tanda tanda yang mengisyaratkan ‘Ya’ atau ‘Tidak’. Apalagi sebuah senyuman. Tapi perlahan anak itu akhirnya mau duduk disebelahku, kemudian kepalanya kembali tertunduk. Pak imran mulai merasakan ada sesuatu yang aneh pada anak ini.

“Fajar.. ini pak lumkan masih ingat?” dengan cepat segera aku ambil dua buah apel dari kantung pelastik yang diberikan pak lukman tadi dan langsung aku serahkan pada pak lukman. Seoalah mengerti dengan kedipan mataku, pak lukman langsung berlutut dihadapan fajar.

“Nak... ini bapak bawakan apel untuk kamu. Mau yah? Bukan Cuma itu.. kapanpun jika kamu mau buah-buahan kamu bisa datang dan ambil ketempat saya. Saya berikan gratis untuk kamu tapi kamu harus bilang baik-baik. Terima ya apel ini sebagai permohonan maaf bapak karena waktu itu memukulimu” Pak imran bicara dengan sungguh-sunggu. Beberapa anak didiku mengalihkan pandanganya pada pak imran yang sedang berlutut didepan fajar, begitupun dengan aziz, ia hanya tersenyum melihat apa yang saat ini dilakukan sang ayah.

Fajar masih diam tanpa reaksi apa-apa. Kepalanya tetap tertunduk kebawah. Aku jadi penasaran apa yang saat ini fajar fikirkan, kenapa anak itu seolah menyimpan banyak tanda tanya. Apa yang sebenarnya tengah dialami oleh anak seusianya. Diusianya yang masih sangat muda, harusnya fajar tumbuh menjadi anak yang periang, aktif dan bermain dengan anak anak sebayanya. Bukan malah diam dan seolah menjaga jarak dengan orang-orang disekelilingya. Apakah ada kejadian dimasa lalunya yang sampai-sampai membuatnya seperti sekarang ini. Aku tahu, ada yang ia sembunyikan dan ia tak ceritakan pada orang lain. Mungkin dia tak percaya dengan orang lain dan hanya ia pendam seorang diri. Tak bisa kubayangkan betapa tersiksanya anak seusia fajar menanggung beban yang amat berat sampai menjadikanya seperti ini.

Anak-anak didiku masuk kedalam pondok ketika elma menyuruh mereka yang sudah hadir untuk masuk. Fajar ikut masuk kedalam tanpa menerima dua buah apel dari pak imran. Sedangkan pak imran hanya temenung dan merasa semakin bersalah pada anak itu. Tapi aku berhasil meyakinkanya jika sebenarnya fajar sudah memaafkanya.

**

Pukul 17:20. Anak-anak didiku sudah meninggalkan pondok beberapa menit yang lalu. Yang tersisa hanya aku yang baru saja melipat karpet dan elma yang  baru saja menutup beberapa jendela. Hujan baru saja turun disore ini, sangat deras. Sehinggga aku dan elma terperangkap dipondok. Elma keluar dari dalam dan baru saja mengunci pintu utama pondok, sedangkan aku masih berdiri diluar menatap rintik-rintik hujan yang turun begitu deras.

“Sepertinya hujan reda masih sangat lama. Dan jika kita menunggu sampai hujan reda bisa bisa kita kemalaman disini” kataku tanpa berbalik badan kearah elma.

“Ia mas.. terus gimana ya”

“Tolong ambilkan payung didalam el. Kita pulang saja, biar kamu saya antarkan pulang dengan mobil saya”

“Tidak merepotkan mas? Kita kan beda jalur mas”

“Tidak sama sekali..”

Elma langsung membuka kembali pintu yang baru beberapa detik ia kunci, dan keluar dengan membawa dua buah payung. Aku langsung membuka payung itu begitupun dengan payung yang ada digenggaman elma. Kami berdua sama sama masuk kedalam mobil. Elma duduk dikursi kedua, padahal sudah kuminta agar dia duduk didepan bersamaku, tapi katanya dia takut mengundang fitnah. Aku hargai keputusanya itu, walau usia kami terpaut sangat jauh tapi bukankah fitnah didunia ini tak pernah melihat usia manusia?

Mobilku baru saja melaju keluar dari gerbang pondok. Tapi mataku menangkap sosok seseorang yang berdiri disebuah toko yang sudah tutup. Kedua tanganya dilipat, tubuh kecilnya terlihat menggigil.

“Itu fajar?” kataku pada elma. Elma langsung melihat kearah yang aku maksud.

“Ia mas.. Ya Allah kasian sekali anak itu. Pasti dia tengah berteduh menunggu hujan reda”

“Ia.. kita antarkan dia pulang. Kasian.. bisa bisa dia kemalaman disitu”

Aku langsung keluar dengan berlindung pada payung dari derasnya hujan dan menghampiri fajar. Dia tercengang ketika melihatku ada dihadapanya.

“Ayo ikut.. saya antarakan pulang?”

Kali ini fajar langsung menuruti perintahku, tak menggelengkan kepala atau mengangguk atau diam beberapa waktu yang seperti biasa dia lakukan. Fajar duduk didepan disampingku, ia sama sekali tak memeperdulikan elma yang duduk dibelakangnya. Pandanganya hanya kedepan. Ya kedepan. Entah apa yang dia lihat selain rintik hujan yang begitu deras.

**

Hujan masih turun begitu deras. Langit terlihat begitu gelap. Waktu magrib hanya 20 menit lagi. Harusnya langit belum segelap ini. Kuasa Allah yang menciptakan segala sesuatu yang diluar nalar manusia. Sambil terus menyetir kuiringi dengan dzikir yang keluar dari bibir tanpa suara, bisa kurasakan fajar diam diam memperhatikan bibirku. Mungkin dibenaknya sedang apa aku? Atau apa yang aku ucapkan karena sama sekali tak mengeluarkan suara, yang terlihat hanya bibirku saja yang bergetar.

“Mas elma berhenti di kios bapak saja yah” Kata elma dari tempat duduknya

“Loh gak pulang kerumah?”

“Enggak mas... sekalian elma mau bantuin bapak tutup kios”

“Yasudah...”

Sejurus kemudian elma sudah keluar ketika mobilku berhenti  di kios Pak Imran. Nampak pak imran yang tengah membereskan kursi melambaikan tangan kearahku, kutimpali dengan senyuman lalu sedan hitamku kembali melaju.

Fajar masih duduk disebelahku, sesekali kulirik dengan posisi wajah yang terus memandang kedepan. Anak itu sepertinya tengah menikmati susana lampu lampu dipinggiran jalan yang mulai menyala. Aku terus melajukan mobilku sampai terhenti didepan rumahnya yang bersebelahan dengan rumah elma. Dia diam beberapa waktu, tak langsung keluar. Wajahnya terlihat kebingungan seperti tengah memikirkan sesuatu.

“Terim kasih sofiyan”

Fajar mengeluarkan suaranya. Baru kali ini dia menyebut namaku, meski tak diawali dengan mas atau kakak seperti anak didiku yang lain. Mengingat usia fajar sangat jauh dibawahku. Tapi aku tak mempermasalahkanya mungkin itu sudah kebiasaan atau tradisi dikeluarganya.

“Kau selama ini sangat baik padaku. Semoga Elohim memberkatimu” aku tercengan mendengar ucapanya barusan, Jadi fajar seorang yahudi? Tapi aku tetap mengaminkan doanya. Karena dalam islam setap umat muslim wajib mengaminkan doa seseorang apalagi jika doa itu baik untuk kita. Dan jika yang mendoakan itu seorang non muslim. Cukuplah kita yakin hanya Allah Swt yang mengabulkan segala doa manusia dimuka bumi ini.

“Sebentar lagi kau sudah masuk ibadah bukan?”

“Masih ada waktu sepuluh menit lagi. Saya bisa mencari masjid atau mushola terdekat”

“kenapa tidak dirumahku?”

Aku kembali tercengang. Ada apa dengan anak ini? Kenapa mendadak sikapnya ramah padaku. Tak biasanya dia mengeluarkan suaranya apalagi sekarang kami terlibat dalam percakapan. Dan yang membuatku heran dia menawarkan aku sholat dirumahnya.

“Kenapa fiyan? Bukankah dalam ajaranmu kau bisa beribadah dimana saja? Apakah rumahku tak layak untuk tempat ibadahmu?”

“Bukan begitu.. Tapi..”

“Ayo masuk..”

Fajar keluar lebih dulu. Aku diam beberapa detik, seakan ragu melangkahkan kakiku masuk kedalam...






Next Part...

Comments

Popular posts from this blog

CERITA GAY " SATPAM KONTOL BENGKOK "

CERITA GAY " KENEK BUS DAN PETUGAS JAGA BUSWAY "

CERITA SEX GAY " SATPAM PLN "